Setelah membahas bagaimana cara mengidentifikasi ketika seseorang terlibat dalam pencurian kata, mari kita bahas mengenai beberapa kata yang paling sering dicuri.
1. Cinta
Semua orang menyukai cinta. Cinta dulu didefinisikan sebagai “menghendaki kebaikan bagi orang lain.” (hal ini juga bermasalah ketika dunia tidak sepakat mengenai definisi kebaikan). Apa pun yang membuat seseorang tidak nyaman sekarang dianggap tidak mencintai.
Salah satu poin yang paling diabaikan dalam 1 Korintus 13 adalah bahwa kasih “tidak bersukacita karena ketidakbenaran, tetapi bersukacita karena kebenaran” (ayat 6). Ketika anak-anak kita bingung saat kesetiaan mereka harus berbohong tentang makna cinta, kita harus mengarahkan mereka ke sisi kebenaran.
2. Kebenaran
Saat ini anak-anak kita didorong untuk “menjalankan kebenaran mereka sendiri.” Menjadi otentik untuk kebenarannya sendiri.
Ketika masyarakat kita mengacaukan definisi kebenaran, hal itu mengacaukan fondasi realitas anak-anak kita. Kebenaran telah menjadi apa pun dalam worldview seseorang, dan tidak ada dari kita yang bisa menentangnya karena hal itu akan berujung pada sikap tidak mencintai, fanatik, dan tidak toleran.
3. Toleransi
Kata toleransi tidak lagi berarti hidup damai dengan orang-orang yang berbeda keyakinan. Saat ini toleransi berarti menerima semua kepercayaan, tidak peduli seberapa palsu hal itu.
Padahal konsep toleransi menurut Alkitab dan kamus Oxford tidak demikian. Roma 14: toleransi dalam komunitas Kristen mengenai keyakinan tentang makan daging yang telah dikorbankan untuk berhala dan hal-hal yang diperdebatkan lainnya (berkaitan dengan persatuan gereja). Kamus Oxford mendefinisikan toleransi sebagai “kemampuan atau kesediaan untuk mentolerir keberadaan pendapat atau perilaku yang tidak disukai atau tidak disetujui seseorang.”
Toleransi pada dasarnya telah diturunkan ke posisi netralitas, di mana seseorang dilarang memiliki keyakinan yang absolut tentang apa pun. Satu-satunya keyakinan absolut yang boleh dimiliki seseorang adalah dengan mengatakan bahwa setiap orang sama-sama benar. Dengan menyanggah siapa saja untuk menjadi benar, maka Anda tidak toleran.
4. Keadilan dan Kesetaraan
Keadilan sering menjadi topik utama baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru dan bahkan merupakan atribut Allah. Namun, cara penggunaannya saat ini sangat jauh dari definisinya dalam Kitab Suci. Dalam budaya saat ini, keadilan tidak lagi berarti “apa yang pantas.” Ketika seseorang berbicara tentang kesetaraan, mereka tidak lagi mengacu pada kesetaraan nilai. Mereka berorientasi pada kesetaraan hasil.
Sebagai contoh, Harvard memutuskan bahwa ada terlalu banyak orang Asia yang diterima di sekolah tersebut, sebuah hal yang “tidak adil” bagi ras lain. Solusinya? Mengubah kriteria penerimaan murid berdasarkan ras mereka. Hal ini menyebabkan mereka terlibat urusan hukum. Untuk mendaftar di Harvard, orang Asia harus memiliki nilai SAT yang, rata-rata, 140 poin lebih tinggi dari orang kulit putih, 270 poin lebih tinggi dari orang Hispanik, dan 450 poin lebih tinggi dari orang Afrika Merika. Seperti itukah keadilan dan kesetaraan?
5. Fanatik
Saat ini, siapa pun yang membuat pernyataan eksklusif secara otomatis dicap fanatik. Apakah Anda percaya Yesus adalah satu-satunya jalan? Nah itu klaim fanatik. Apakah Anda percaya pada definisi alkitabiah tentang pernikahan: yaitu, satu pria dan satu wanita seumur hidup? Fanatik. Apakah Anda menyangkal bahwa semua jalan menuju Tuhan yang sama? Sekali lagi, itu fanatik.
Ironisnya adalah bahwa orang yang menggunakan istilah fanatik dengan cara ini sebenarnya memahami definisi kata tersebut. Menurut kamus Merriam-Webster, seorang fanatik adalah “seseorang yang keras kepala atau tidak toleran, mengabdikan diri pada pendapat dan prasangkanya sendiri.” Pendapat populer saat ini adalah bahwa semua ide sama-sama sah, dan siapa pun yang tidak setuju adalah fanatik.
6. Otentik
Di masa lalu, banyak orang Kristen mencoba yang terbaik untuk tampil sempurna. Sekarang tidak demikian. Mengakui ketidaksempurnaan secara terbuka adalah hal yang populer sekarang. Saat ini, salah satu berhala yang cukup populer adalah konsep keaslian yang abstrak (dan seringkali palsu).
Jadi apakah menjadi otentik itu buruk? Haruskah kita kembali menutupi ketidaksempurnaan kita? Untuk menjawabnya kita harus melihat bagaimana kata otentik telah dibajak. Dalam konteks Kristen, mendorong orang menjadi otentik pada awalnya dimaksudkan untuk membantu mereka mengakui keberdosaan mereka, memiliki keyakinan (sebagai lawan dari aib dan penghukuman), dan mencintai satu sama lain meskipun bergumul. Kita semua harus berjuang menuju pengudusan sambil mempertahankan kerendahan hati yang berasal dari pemahaman betapa jauhnya kita dari kesempurnaan Kristus.
Jika Anda tidak sempurna, jangan berpura-pura. Jika Anda tidak sempurna, jangan menikmatinya.
Tujuan otentisitas adalah untuk melepaskan belenggu agar manusia dapat mengejar kebebasan dari dosa yang mengikatnya, bukan agar dapat menikmatinya tanpa merasa dihakimi oleh siapapun.
– – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – –
Artikel ini merupakan episode ke-12 dari seri BQS Mama Bear. Untuk melihat konten lainnya silakan klik link berikut: https://www.instagram.com/s/aGlnaGxpZ2h0OjE3OTQwNDc5MzU2NDk4MzA3?utm_medium=copy_link
– – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – –
Dari buku “Mama Bear Apologetics”
Mama, saya sudah meninggalkan kekristenan. Yesus tidak ada bedanya dengan Santa Klaus. Ketika mendengar perkataan itu keluar dari Tony, anak sulungnya yang baru lulus kuliah, Jody tidak mampu berkata-kata. Banyak pertanyaan muncul dalam benaknya, “Bagaimana bisa? Padahal dia sudah ke sekolah minggu sejak kecil dan pelayanan di kebaktian remaja! Dia bahkan meminta untuk dibaptis saat tahun pertama kuliah. Siapa yang mempengaruhi dia? Apakah saya gagal mendidik anak saya sebagai orang tua?”
Pernahkah Anda mendengar cerita yang mirip seperti kisah Jody dan anaknya, Tony? Atau mungkin peristiwa itu pernah Anda alami sendiri? Sebagai orang tua, kita berusaha memahami anak kita dan cara pandang mereka namun sepertinya sangat susah. Sangat wajar sebenarnya. Kita hidup di jaman yang memiliki tantangan yang berbeda.
Tidak bisa dipungkiri, dengan kemajuan teknologi, siapapun bisa mengakses berbagai macam informasi. Bahkan, anak kecil lebih canggih dalam menggunakan gadget dan internet daripada Generasi X/Z. Studi menunjukan bahwa anak-anak diperkenalkan pada tantangan terhadap Kekristenan di usia yang semakin muda. Sebagai orang tua, atau seorang “Mama Bear”, kita tidak rela anak kita terhanyut oleh filosofi sekuler yang merugikan mereka. Namun jika kita berkata jujur, kita juga bukan apologis yang bisa dengan lihai menjawab pertanyaan rumit mereka tentang moralitas, sains, dan lain-lain.
Apa yang bisa seorang Mama Bear lakukan?
Tanggung jawab kita sebagai orang tua adalah untuk menjaga anak kita dari ancaman apapun. Menunjukkan dan mendikte mana yang benar dan salah bisa kita lakukan, tapi itu hanyalah solusi jangka pendek. Perlindungan terbaik bagi anak kita adalah dengan memperlengkapi mereka untuk secara langsung menghadapi kebohongan budaya sambil tetap penuh kasih dan ramah. Tidak hanya menunjukkan, tapi mengajari mereka untuk berpikir kritis agar mereka dapat berpikir untuk diri sendiri mana yang benar dan salah. #RoarLikeAMother