Oleh Yakub Tri Handoko
Saya bertobat dan bertumbuh di dalam gereja yang sangat menekankan iman. Setiap Hari Minggu saya dan seluruh jemaat pasti akan menyuarakan keyakinan tersebut: “Percaya dapat, pasti dapat.” Berbekal iman seperti ini saya terus menapaki kehidupan saya yang terjal. Beragam cobaan dan ujian datang, iman saya tidak goyang.
Tatkala saya menempuh studi S-1 teologi, keadaan menjadi tidak terkendali. Pikiran kritis saya berjumpa dengan buku-buku filsafat dan teologi liberal. Berbagai pertanyaan bermunculan. Keraguan pun kerap datang. Benarkah Alkitab merupakan firman Tuhan? Mengapa doktrin Tritunggal terlihat sangat membingungkan dan tidak masuk akal? Bagaimana menjelaskan kemiripan kisah-kisah Alkitab dengan beragam mitologi kuno? Jika Allah ada, mengapa ada dosa dan penderitaan?
Beberapa upaya untuk bertanya dan berdiskusi dengan dosen-dosen sudah saya lakukan. Hasilnya tidak terlalu menggembirakan. Saya sering dicap terlalu mengandalkan rasio dan kurang bersandar pada Roh Kudus. “Malu bertanya sesat di jalan” tidak berlaku untuk saya. Yang ada adalah “banyak bertanya dianggap sesat.”⠀⠀⠀
⠀
Lelah dengan semua pencarian kebenaran, saya mengambil kesimpulan bahwa kekristenan tidak masuk akal. Banyak kontradiksi dalam Alkitab. Akhirnya saya memutuskan menjadi seorang ateis pada tahun ke-2. Semua aktivitas relijius tetap saya lakukan, namun tanpa keyakinan dan kesungguhan.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Puji Tuhan! Dia mempertobatkan saya secara misterius dan supranatural. Seorang dosen berkata di kelas: “Alkitab adalah firman Tuhan.” Tanpa penjelasan. Tanpa argumen. Saat itu saya menangis sesenggukan di pojok belakang ruangan.
Sejak itu saya mulai mengkaji dan menata ulang semua pemikiran saya. Apakah yang dimaksud dengan “Allah?” Apakah Dia ada? Bagaimana saya dapat mengenali keberadaan-Nya melalui logika dan fakta? Apakah Dia berpribadi? Mengapa Dia dan kita sama-sama berpribadi? Apa kelebihan Alkitab secara historis dibandingkan kitab-kitab kuno yang lain?
Semakin saya berani mempertanyakan iman secara mendalam, semakin dalam pula iman itu ditumbuhkan. Keraguan tidak selalu menjadi musuh iman. Dari pengalaman seperti inilah saya memutuskan untuk menggeluti apologetika. Saya tidak ingin orang-orang Kristen takut berpikir dan bertanya, sehingga memberangus akal budi mereka yang sudah diciptakan dan ditebus oleh Kristus Yesus.
Soli Deo Gloria.