Dapatkah Pengalaman Religius Menunjukkan bahwa Allah Ada?

April 28, 2021
Posted in Apologetika
window.dataLayer = window.dataLayer || []; function gtag(){dataLayer.push(arguments);} gtag('js', new Date()); gtag('config', 'AW-11484915265');
April 28, 2021 gracealone

Alkitab mencatat banyaknya pengalaman perjumpaan dengan Allah secara langsung. Dalam PL, Musa melihat nyala api dari semak duri, di mana Allah memerintahkannya untuk kembali ke Mesir dan membebaskan umat-Nya. Malaikat TUHAN menyampaikan janji Allah kepada Gideon dengan membebaskan bangsa Israel dari musuhnya, bangsa Midian. Di masa tuanya, Abraham yang belum mempunyai keturunan dijanjikan oleh TUHAN bahwa ia akan menjadi bapa bagi banyak bangsa, dan istrinya juga yang telah lanjut usia, Sara, akan melahirkan seorang anak yang kemudian menjadi bapa bagi sebuah bangsa yang baru. Di zaman kerajaan Israel pula, Allah menampakkan diri kepada para raja dan nabi dengan menyampaikan peringatan-peringatan serta janji-janji.

Dalam PB, kita juga membaca pengalaman-pengalaman religius dari banyak orang menjelang kelahiran Yesus dan Yohanes Pembaptis, peristiwa transfigurasi Yesus, pertobatan rasul Paulus di tengah perjalanannya ke Damaskus untuk menganiaya orang Kristen, dan keputusan Petrus, yang dimotivasi oleh sebuah penglihatan, untuk membawa Injil kepada Kornelius beserta keluarganya. Masih ada banyak catatan-catatan seperti ini di dalam Alkitab. Dan catatan tersebut tidak berhenti sampai di situ saja. Di setiap generasi orang-orang percaya telah menyaksikan adanya kehadiran Allah secara nyata dalam berbagai bentuk dan cara yang beragam.

Sesungguhnya, dalam berbagai kasus, pengalaman-pengalaman religius semacam ini dialami oleh mereka yang sudah percaya pada Tuhan. Pengalaman-pengalaman tersebut seringkali bertujuan untuk memberikan informasi yang dapat dipercaya atau adanya bimbingan ilahi, dan terkadang dibarengi dengan peristiwa lainnya yang meneguhkan secara ajaib. Di sisi lain, pengalaman yang meneguhkan kepercayaan mereka akan Allah ini, memimpin mereka untuk bersaksi akan keberadaan dan kuasa Tuhan, serta mendorong mereka untuk bertindak sesuai dengan informasi dan arahan yang mereka terima.

Maka, pertanyaannya: Dapatkah pengalaman religius menjadi dasar untuk mempercayai bahwa Allah itu ada? Ya, ini adalah hal yang masuk akal, dan berikut adalah alasan-alasannya.Alkitab mencatat banyaknya pengalaman perjumpaan dengan Allah secara langsung. Dalam PL, Musa melihat nyala api dari semak duri, di mana Allah memerintahkannya untuk kembali ke Mesir dan membebaskan umat-Nya. Malaikat TUHAN menyampaikan janji Allah kepada Gideon dengan membebaskan bangsa Israel dari musuhnya, bangsa Midian. Di masa tuanya, Abraham yang belum mempunyai keturunan dijanjikan oleh TUHAN bahwa ia akan menjadi bapa bagi banyak bangsa, dan istrinya juga yang telah lanjut usia, Sara, akan melahirkan seorang anak yang kemudian menjadi bapa bagi sebuah bangsa yang baru. Di zaman kerajaan Israel pula, Allah menampakkan diri kepada para raja dan nabi dengan menyampaikan peringatan-peringatan serta janji-janji.

Dalam PB, kita juga membaca pengalaman-pengalaman religius dari banyak orang menjelang kelahiran Yesus dan Yohanes Pembaptis, peristiwa transfigurasi Yesus, pertobatan rasul Paulus di tengah perjalanannya ke Damaskus untuk menganiaya orang Kristen, dan keputusan Petrus, yang dimotivasi oleh sebuah penglihatan, untuk membawa Injil kepada Kornelius beserta keluarganya. Masih ada banyak catatan-catatan seperti ini di dalam Alkitab. Dan catatan tersebut tidak berhenti sampai di situ saja. Di setiap generasi orang-orang percaya telah menyaksikan adanya kehadiran Allah secara nyata dalam berbagai bentuk dan cara yang beragam.

Sesungguhnya, dalam berbagai kasus, pengalaman-pengalaman religius semacam ini dialami oleh mereka yang sudah percaya pada Tuhan. Pengalaman-pengalaman tersebut seringkali bertujuan untuk memberikan informasi yang dapat dipercaya atau adanya bimbingan ilahi, dan terkadang dibarengi dengan peristiwa lainnya yang meneguhkan secara ajaib. Di sisi lain, pengalaman yang meneguhkan kepercayaan mereka akan Allah ini, memimpin mereka untuk bersaksi akan keberadaan dan kuasa Tuhan, serta mendorong mereka untuk bertindak sesuai dengan informasi dan arahan yang mereka terima.

Maka, pertanyaannya: Dapatkah pengalaman religius menjadi dasar untuk mempercayai bahwa Allah itu ada? Ya, ini adalah hal yang masuk akal, dan berikut adalah alasan-alasannya.

Sudah menjadi prinsip rasionalitas umum bahwa sebuah benda yang terlihat melalui pengalaman tertentu memberikan dasar yang cukup kuat untuk mempercayai bahwa seperti yang terlihat itulah tampilan aslinya, kecuali ada alasan yang kuat untuk berpikir bahwa yang terlihat itu sebenarnya tidak demikian. Jika saya merasa melihat sebuah pohon jeruk di taman milik saya, maka, pada umumnya, saya memiliki dasar yang kuat untuk mempercayai bahwa memang ada pohon jeruk di sana. Tetapi, andai kata, selama sepuluh tahun terakhir, saya tidak pernah melihat pohon jeruk di sana, saya tidak pernah merencanakan untuk menanam pohon jeruk di sana baru-baru saja, istri saya melihat dan berkata bahwa tidak ada pohon jeruk di sana, dan saya baru saja diberikan sebuah obat yang diketahui dapat menyebabkan halusinasi sebagai efek sampingnya. Pertimbangan-pertimbangan ini membuat sangat tidak mungkin bahwa apa yang saya rasa saya lihat itu benar. Karena itu, saya tidak mempunyai dasar yang kuat untuk mempercayai bahwa pohon jeruk itu ada di taman milik saya.

Sekalipun pengalaman bersama Tuhan yang dikatakan itu tidak selalu melibatkan atau tertangkap oleh panca indera manusia, pengalaman tersebut memiliki struktur dan dasar kepercayaan yang sama seperti pengalaman yang serupa dengan melihat pohon jeruk di atas. Sebuah entitas atau objek tertentu ditangkap secara langsung keberadaannya melalui pikiran atau kesadaran dari sebagian orang. Karena itu, jika saya merasa dan menyadari akan kehadiran Allah secara langsung, dan tidak ada alasan atau kepercayaan tertentu yang bertentangan dengan pengalaman itu, maka saya memiliki dasar yang kuat untuk mempercayai bahwa Allah itu hadir, dan dengan itu juga meyakini bahwa Allah itu ada (sebab tidak mungkin Allah hadir jika Allah tidak ada).

Kendati demikian, kita perlu bertanya: Apakah pengalaman saya ini dapat menjadi sebuah bukti untuk orang lain, jika saya menceritakan pengalaman saya ini kepada mereka? Apakah sebuah kesaksian tentang pengalaman bersama Allah dapat menjadi dasar yang kuat untuk mempercayai bahwa Allah itu ada?

Sekali lagi, prinsip yang menjamin rasionalitas sebuah kepercayaan berdasarkan adanya kesaksian adalah ini: Kesaksian yang melandasi sebuah pengalaman tertentu seharusnya dapat dipercaya, kecuali ada alasan yang cukup kuat untuk berpikir bahwa hal itu tidak benar. Jika saya menceritakan kepada orang lain bahwa saya melihat sebuah pohon jeruk, maka, secara umum, penerima kesaksian saya memiliki dasar yang kuat untuk mempercayai bahwa saya telah melihatnya, dan tentunya bahwa pohon jeruk itu memang ada. Tetapi, jika saya memiliki reputasi sebagai orang yang suka main-main, sering bohong, atau jika saya tidak tahu seperti apakah tampilan pohon jeruk itu, atau penerima kesaksian saya memiliki alasan yang kuat lainnya untuk menolak keberadaan pohon jeruk di taman itu, maka menjadi tidak masuk akal bagi orang lain untuk menerima kesaksian saya.

Sama halnya dengan itu, jika saya menceritakan sebuah pengalaman pribadi bersama Tuhan, kesaksian saya dapat menjadi dasar bagi orang lain untuk percaya bahwa Allah itu ada, ketika apa yang saya ceritakan itu logis, ketika panca indera saya berfungsi dengan cukup baik pada saat mengalami hal tersebut, dan ketika saya memiliki sebuah reputasi sebagai orang jujur.

Maka, sebagai kesimpulan, cukup masuk akal bahwa sebuah pengalaman religius dapat menjadi dasar yang kuat untuk mempercayai bahwa Allah itu ada, bagi orang yang mengalaminya secara langsung. Bahkan, kesaksian tentang pengalaman tersebut sangat mungkin untuk menjadi dasar bagi mereka yang tidak mempunyai pengalaman yang serupa untuk mempercayai keberadaan Allah. Jika dikombinasikan pula secara kumulatif dengan bukti-bukti lain yang mendukung keberadaan Allah, pengalaman religius yang dialami secara langsung yang disertai dengan sebuah kesaksian dapat memberikan motivasi yang kuat untuk percaya akan adanya Allah. Sedikitnya, hal ini dapat memberikan motivasi yang kuat untuk mengeksplorasi bukti-bukti lain terkait keberadaan Allah.

Diterjemahkan dari artikel R. Douglas Geivett, “Can Religious Experience Show There Is a God?” dalam Apologetics Study Bible, 2012.

 

Artikel ini diunggah pula di Instagram API:
https://www.instagram.com/p/CONkn9hhOF6/
https://www.instagram.com/p/CONkWiMBfj7/
https://www.instagram.com/p/CONkI0lBaIL/

, , , , ,
Lost your password? Please enter your username or email address. You will receive a link to create a new password via email.
Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor slot gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor