Jawaban Atas Pertanyaan-Pertanyaan

Februari 16, 2021
Posted in Apologetika
window.dataLayer = window.dataLayer || []; function gtag(){dataLayer.push(arguments);} gtag('js', new Date()); gtag('config', 'AW-11484915265');
Februari 16, 2021 gracealone

Setelah unggahan tentang skandal seksual almarhum Ravi Zacharias di Instagram API (dan GRAMI), kami mendapatkan begitu banyak respon. Ada penghargaan, ada ungkapan keprihatinan, ada keberatan, ada pula pertanyaan. Unggahan kali ini akan memberikan penjelasan (atau jawaban) atas beberapa keberatan dan pertanyaan di atas.

Mengapa API baru menyatakan sikap sekarang?

API memang sudah mengetahui dan mengikuti proses skandal seksual Ravi sejak awal. Namun, kami menahan diri untuk tidak membicarakannya di depan publik sebelum investigasi final dilakukan dan RZIM mengeluarkan pernyataan resmi mereka. Kami melakukan ini dengan pertimbangan etis/pastoral (kami tidak ingin mendahului RZIM) dan logis (kami tidak mengetahui detil perkara legal).

Bagaimana menyikapi buku-buku Ravi?

Skandal ini telah menghantam keras warisan (legacy) dan menghancurkan reputasi Ravi sebagai seorang pembela kebenaran. Ada inkonsistensi antara apa yang diajarkan dan dilakukan.

Walaupun demikian, kami meyakini bahwa kebenaran tidak ditentukan oleh sikap orang terhadap kebenaran itu. Emas tetaplah emas walaupun ada di tangan gelandangan dan disimpan di selokan. Selama apa yang ditulis dalam buku-buku tersebut konsisten dengan logika, koheren dengan fakta, relevan dengan kehidupan dan sesuai dengan firman Tuhan, buku-buku itu tetap bermanfaat dan patut untuk dibaca. Yang berkurang dari karya Ravi bukanlah kekuatan ontologis dan epistemik kebenaran-kebenaran itu, tetapi kekuatan persuasinya. Mulai sekarang, tiap kali seseorang mendengar suatu klaim kebenaran dikaitkan dengan Ravi, halangan emosional bisa muncul tiba-tiba tanpa bisa dilawan.

Apakah API menghakimi Ravi?

Pernyataan bahwa kami merasa sedih, kecewa dan marah, bukanlah sebuah penghakiman, melainkan kejujuran. Kami hanya mengekspresikan apa yang ada dalam hati kami dan (mungkin) mewakili perasaan banyak keluarga besar GRAMI/API. Sikap menghakimi (judgemental attitude/spirit) ditandai dengan perasaan lebih benar daripada orang yang dinilai (Mat. 7:1-5). Dalam hal skandal Ravi, kami menyadari bahwa kejatuhan seperti ini dapat terjadi pada siapa saja di antara kami, baik pembicara, pengurus yayasan, staf maupun relawan. Masing-masing kami memiliki kelemahan dan pergumulan spiritual sendiri-sendiri. Tidak ada satupun di antara kami yang lebih rohani daripada Ravi. Pendeknya, tidak semua penilaian layak dikategorikan sebagai penghakiman.

Mengapa API perlu meminta maaf atas tindakan Ravi?

API memang tidak memiliki kemitraan – apalagi menjadi bagian dari – RZIM. Tidak ada kena-mengena secara institusional antara RZIM dan API. Walaupun demikian, kami tetap merasa perlu meminta maaf sebagai pertanggungjawaban dan keadilan. Kami mungkin pernah menampilkan Ravi sebagai figur teladan dalam apologetika maupun kehidupan dalam unggahan media sosial, seminar-seminar maupun percakapan non-formal. Jika kami mendapati bahwa dia tidak seperti yang pernah kami utarakan di depan publik, kami merasa bertanggung-jawab atas nama keadilan untuk menyatakan yang sebaliknya atau – lebih tepat – sebenarnya di depan publik juga.

Apakah teologi seseorang berdampak terhadap kejatuhannya?

Pertanyaan ini cukup rumit. Istilah teologi memiliki jangkauan arti yang luas. Faktor dominan dalam kejatuhan masing-masing orang juga berlainan.

Jika “teologi” dalam arti aliran teologi, jawabannya mungkin tidak. Skandal moral menimpa siapa saja, baik yang Reformed maupun Arminian. Bahkan aliran Wesleyan yang sangat menekankan kekudusan juga tidak kebal terhadap skandal seksual yang besar.

Jika “teologi” dipahami secara lebih luas, setiap kejatuhan sangat mungkin bersentuhan dengan teologi. Sebagai contoh, orang yang salah memahami konsep anugerah bisa saja menjadikan kebebasan di dalam Kristus sebagai kesempatan untuk berbuat dosa (antinomianisme). Teologi yang dianut bisa saja turut membentuk kultur pelayanan. Sebagai contoh, keyakinan bahwa pemimpin Kristen atau rohaniwan adalah figur spesial yang tidak boleh dikritik dan diusik justru memberi tambahan godaan yang tidak diperlukan bagi para rohaniwan.

Dalam kasus Ravi, API tidak mengetahui seberapa besar teologinya (dan RZIM) berperan dalam kejatuhannya. Kami tidak mengetahui detil perkara dan tidak mengenal Ravi secara dekat. Apakah ungkapan Ravi di depan para korban bahwa dia berhak mendapatkan pelepasan seksual dari tekanan pelayanan merupakan sebuah strategi manipulasi atau menyatakan teologinya? Kami tidak bisa memastikan. Apakah sikap awal RZIM yang cenderung “asal percaya” terhadap Ravi digerakkan oleh teologi yang salah atau sekadar kebiasaan organisasional yang terhisap pada kharisma Ravi? Kami juga tidak mengetahuinya.

Apakah kita akan menjadikan keburukan pemimpin agama lain dalam apologetika?

Seperti yang sudah disinggung di depan, sikap seseorang tidak menentukan apakah ajaran yang dipegang benar atau keliru. Menggunakan kekurangan personal orang lain dalam argumentasi merupakan sebuah kekeliruan logika (Ad Hominem), sehingga harus dijauhi.

Walaupun demikian, jika suatu pihak menjadikan kehidupan pribadi seseorang (entah pendiri atau tokoh ternama di agamanya) sebagai patokan moralitas atau fondasi epistemologis, mendiskusikan kekuatan/kelemahan figur tersebut akan menjadi strategi apologetis yang tidak terelakkan. Tujuannya tentu saja bukan untuk menjelekkan, tetapi menguji kekuatan dari klaim dan fondasi yang sedang didiskusikan.

Bagaimana menyikapi penganut agama lain yang memanfaatkan skandal ini untuk mendiskreditkan apologetika/kekristenan?

Dengan besar hati dan kejujuran kita mengakui bahwa skandal ini sangat memalukan. Tidak ada alasan untuk membenarkan tindakan Ravi, apalagi menyalahkan para korban. Kita juga perlu mengungkapkan bahwa Alkitab bahkan mencatat kejatuhan para tokoh iman (Daud, Salomo, Petrus, Paulus, dsb). Kekristenan dipenuhi dengan orang-orang berdosa yang kadangkala melakukan tindakan sangat tercela.

Bagaimanapun, fondasi kebenaran dalam kekristenan adalah perkataan dan tindakan Yesus Kristus. Dialah Sang Firman (Yoh. 1:1, 14). Dialah Sang Jalan, Kebenaran, dan Kehidupan itu (Yoh. 14:6). Klaim-klaim Kristiani seyogyanya diuji berdasarkan kehidupan Yesus Kristus. Apakah ada kesalahan moral yang Yesus lakukan? Apakah ada tindakan-Nya yang kurang luhur? Dialah satu-satunya manusia yang tidak pernah berbuat dosa (2Kor. 5:21; Ibr. 4:15).

Bagaimana menolong petobat baru yang terpukul dengan skandal ini?

Hal pertama yang perlu dilakukan adalah mencoba meletakkan diri kita pada posisi mereka. Situasi ini pasti tidak mudah bagi mereka. Adalah wajar jika mereka tergoncang. Jangan menyalahkan mereka. Jangan menghakimi iman mereka. Hal selanjutnya yang perlu dilakukan adalah menemani mereka menghadapi perjalanan spiritual yang bergelombang ini. Mereka lebih membutuhkan kehadiran kita daripada “khotbah” maupun “apologetika” kita. Ingat, yang tergores adalah emosi dan hati mereka.

Seandainya kita harus mengatakan sesuatu yang mencerahkan, ingatkan saja tentang fondasi iman mereka, yaitu Yesus Kristus (1Kor. 3:10). Kristus beberapa kali dikecewakan dan dikhianati, tapi semua itu Dia lakukan untuk kita semua. Semakin besar rasa sakit dan kecewa kita, semakin besar pemahaman kita tentang kasih Kristus bagi kita.

Bagaimana memandang warisan (legacy) Ravi dalam apologetika?

Skandal ini telah memunculkan beragam reaksi negatif: melepaskan diri dari segala sesuatu yang berbau Ravi, menyangkali kontribusinya bagi dunia apologetika, membuang semua buku-bukunya, dan sebagainya. Pepatah “habis manis sepah dibuang” tampaknya sedang menimpa Ravi.

API memandang Ravi sebagai penjahat moral sekaligus pahlawan apologetika: seseorang yang pantas dikecam sekaligus disyukuri. Kontribusinya bagi pelayanan apologetika maupun kekristenan secara umum tetap sukar untuk disangkali. RZIM telah menjadi pelayanan apologetika terbesar di dunia yang sudah melahirkan ribuan apologis baru dan berperan dalam pertobatan ribuan orang. Skandal yang memalukan ini merupakan sebuah kesaksian bagi Allah. Dalam anugerah dan kedaulatan-Nya, Dia bisa memakai bejana yang lemah bagi kemuliaan-Nya. Dalam kekudusan dan keadilan-Nya, Dia sedang mengungkapkan kehinaan bejana tersebut. Apa yang menimpa Ravi merupakan penghiburan sekaligus peringatan dari Allah bagi setiap kita.

Lost your password? Please enter your username or email address. You will receive a link to create a new password via email.
SLOT GACOR SLOT GACOR SLOT GACOR SLOT GACOR SLOT GACOR SLOT GACOR SLOT GACOR SLOT GACOR SLOT GACOR Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor SLOT DEMO SLOT DEMO SLOT DEMO SLOT DEMO SLOT DEMO SLOT DEMO