Keputusan beberapa gereja untuk mengadakan ibadah streaming (online) sebagai salah satu pencegahan persebaran virus Corona telah menimbulkan pro dan kontra yang begitu cepat dan hangat. Tulisan saya dengan judul yang sama di situs rec.or.id juga diperdebatkan di beberapa kalangan. Unggahan di sini berfungsi sebagai klarifikasi atas beberapa kesalahpahaman dan keberatan terhadap artikel tersebut.
Klarifikasi pertama berkaitan dengan motivasi. Persetujuan saya terhadap ibadah online bukan didasarkan pada ketakutan, melainkan pada kasih. Bukan kuatir akan tertular, tetapi tidak mau menjadi pembawa virus bagi orang lain. Seperti yang kita ketahui, semakin besar jumlah perkumpulan, semakin besar pula resiko persebaran virus. Ibadah online merupakan salah satu tindakan kecil yang bisa dilakukan oleh gereja guna menghadirkan keadaan yang lebih baik bagi semua orang.
Anda yakin tidak akan tertular? Sah-sah saja. Saya juga memiliki keyakinan itu. Persoalannya, kita tetap bisa saja menjadi pembawa virus bagi orang lain. Membiarkan hal ini atas nama iman merupakan kecerobohan. Bukankah Alkitab yang sama yang mengajarkan iman juga mengajarkan kasih dan kepedulian terhadap sesama?
Klarifikasi berikutnya tentang bentuk ibadah online. Saya tidak menyarankan untuk sekadar menonton video di internet sendiri-sendiri. Ini tidak mengandung unsur “persekutuan” yang memang merupakan elemen penting dalam setiap ibadah. Sebaliknya, saya mendorong dilakukan ibadah keluarga atau di kelompok kecil. Jadi, tetap ada persekutuan, hanya saja jumlah yang hadir jauh lebih kecil. Satu poin lagi, saya juga tidak meniadakan ibadah tatap muka seluruhnya. Gereja harus tetap menyiapkan ibadah bagi jemaat yang akan datang. Saya yakin bahwa jumlah yang jadir akan sangat berkurang. Satu lagi, opsi harus menjadi yang terakhir. Jemaat sebisa mungkin disarankan untuk beribadah dengan keluarga atau di kelompok kecil.
Klarifikasi terakhir adalah tentang penghakiman terhadap pihak lain. Apapun pendapat seseorang tentang isu ini, semua pihak merasa berusaha untuk beriman dan setia pada Alkitab. Baik yang setuju ibadah online maupun tidak sama-sama beriman. Perbedaannya terletak pada pemaknaan dan penafsiran yang berbeda. Janganlah saling menghakimi dengan menganggap pihak lain kurang beriman atau kurang berhikmat. Dalam unggahan berikutnya saya akan menjelaskan beragam alasan untuk wacana ibadah online, sehingga kita dapat mengecek apakah penafsiran kita sudah tepat.
Bagi mereka yang menganggap ibadah online di tengah situasi seperti ini sebagai sesuatu yang tidak Alkitabiah, saya mengajak Anda untuk merenungkan alasan-alasan berikut dengan pikiran yang terbuka.
Pertama, perintah Alkitab untuk mengupayakan kesejahteraan kota di mana Allah menempatkan kita (Yer. 29:7). Pemerintah sudah mengimbau para rohaniwan untuk melakukan ibadah di rumah-rumah. Secara logis dan medis, imbauan ini baik. Secara legal juga tidak menabrak hak asasi karena kita masih bisa beribadah. Jika imbauan ini memang baik, mengapa kita enggan menaatinya? Bukankah kita wajib menaati pemerintah (Rm. 13:1-7)? Bukankah jika kita tahu apa yang baik tetapi tidak melakukannya kita justru berbuat dosa (Yak. 4:17)?
Kedua, hakikat ibadah. Alkitab mengajarkan bahwa kehadiran Allah lebih penting daripada rumah Allah. Dalam doa penahbisan bait Allah Raja Salomo mengakui bahwa kehadiran Sang Pencipta langit dan bumi tidak mungkin bisa dibatasi dengan bangunan (1Raj. 8:27; bdk. Kis. 17:24-25). Itulah sebabnya Dia tidak segan-segan membiarkan bait-Nya dihancurkan oleh tentara Babel. Dia ingin mengajarkan bahwa yang terpenting bukanlah persembahan dan kurban, tetapi ketaatan kepada firman Tuhan (1Sam. 15:22). Jika kita meyakini bahwa kehadiran Allah lebih esensial daripada rumah Allah, maka seharusnya persekutuan di antara dua atau tiga orang seharusnya sudah cukup disebut ibadah (Mat. 18:20). Jika kita meyakini bahwa persekutuan rohani tidak dibatasi oleh lokasi (1Kor. 5:3-5), bukankah seharusnya ibadah keluarga atau kelompok kecil (baik dipimpin langsung atau melalui streaming) sudah memadai untuk disebut persekutuan seluruh gereja lokal?
Ketiga, hakikat gereja. Perubahan bentuk ibadah seperti yang sudah disinggung di unggahan sebelumnya sama sekali tidak melanggar prinsip teologis dalam Alkitab tentang gereja. Gereja adalah orang, bukan bangunan (1Kor. 1:2). Persekutuan, bukan sekadar perkumpulan. Tidak dibatasi oleh besarnya jumlah kehadiran. Jika benar demikian, bukankah persekutuan antar orang percaya dalam skala kecil (antar anggota keluarga atau antar kelompok kecil) juga layak disebut sebagai gereja yang bersekutu?
Keempat, tujuan Hari Sabat. Tuhan Yesus mengajarkan bahwa Sabat adalah untuk manusia, bukan sebaliknya (Mrk. 2:27). Menariknya, Tuhan Yesus mengajarkan kebenaran ini di beberapa situasi yang melibatkan kesejahteraan manusia (sama seperti situasi sekarang). Dia membela tindakan murid-murid-Nya yang memetik dan memakan gandum dengan memaparkan kasus Daud dan pengikutnya “melanggar” aturan roti kudus untuk para imam sehingga para pengikutnya tetap bisa bertahan hidup (Mrk. 2:24-26). Bahkan secara spesifik Tuhan Yesus mengajarkan bahwa belas-kasihan terhadap orang lain jauh lebih berharga daripada persembahan (Mat. 12:7). Itulah sebabnya Dia tetap menyembuhkan orang pada Hari Sabat (Mat. 12:10-12).
Jika perayaan Sabat kita malah tidak membawa kesejahteraan bagi manusia, bukankah itu sesuatu yang bertentangan dengan tujuan Sabat? Bukankah TUHAN lebih menyukai keadilan dan kepedulian sosial daripada sekadar ritual yang tidak dibarengi dengan belas-kasihan (Yes. 1:10-18; Am. 5:21-24)?
Kelima, pelajaran historis dalam perjalanan umat TUHAN. Ada banyak contoh, tapi kita fokus pada beberapa saja. Kehancuran bait Allah di tangan Babel membawa pergeseran besar dalam ibadah umat TUHAN. Mereka tidak lagi berkumpul dalam jumlah besar di bait Allah melainkan di perkumpulan-perkumpulan kecil di seluruh Babel. Mereka tidak lagi berfokus pada persembahan kurban tetapi pertobatan. Ibadah mereka tidak lagi dicirikan dengan kurban dan ritual melainkan pengajaran firman Tuhan. Jumlah yang hadir dan tempat ibadah menjadi tidak penting lagi.
Gereja mula-mula juga beribadah di berbagai tempat: rumah jemaat, rumah ibadat orang Yahudi maupun bait Allah (lihat misalnya Kis. 2:46). Jumlah yang hadir dalam ibadah mereka juga pasti variatif. Mereka juga menunjukkan belas-kasihan dan kepedulian terhadap banyak orang (Kis. 2:44-45; 4:34-37).
Saya secara pribadi justru melihat wabah Corona Covid-19 ini sebagai ajakan Tuhan kepada jemaat-Nya untuk memikirkan ulang hakikat gereja dan ibadah. Banyak gereja mungkin sudah melupakan esensi gereja dan ibadah. Tanpa disadari mereka mungkin telah berpikir bahwa Allah hanya layak dijumpai dalam ibadah yang besar. Mereka mungkin beranggapan bahwa ibadah yang berkenan dibatasi oleh liturgi yang khidmat dan alat musik yang megah. Mari memikirkan ulang semuanya ini dengan pikiran terbuka. Soli Deo Gloria.
Artikel ini diunggah pertama kali pada 19 Maret 2020 di Facebook dan Instagram GRAMI.
https://web.facebook.com/gracealoneministry/posts/1450159521823828?_rdc=1&_rdr
https://www.instagram.com/p/B94ZpnZJkpe/
https://www.instagram.com/p/B94ZjTQJy0w/
https://www.instagram.com/p/B94ZYpDp3-2/